Menjemput Hikmah Isra’ Mi’raj di Tengah Pandemi yang Masih…
Atas nama Dia yang telah mencipta Diri sendiri!
Yang senantiasa abadi berkarya sejak azali;
Atas nama Dia yang mencipta agama,
Saling percaya, kasih, karsa, dan tenaga;
Atas nama Dia, yang begitu kerap disebut,
Namun yang hakikatnya senantiasa luput:
…
(Goethe)
Penulis sedikit menyematkan puisi karya Goethe sebelum membahas inti dari pada tulisan ini. Siapakah Goethe? Goethe merupakan tokoh Jerman terbesar pada masanya. Ia dapat dikatakan sebagai sastrawan juga. Mengapa harus puisi Goethe? Goethe sesosok penggemar budaya dari berbagai macam budaya dunia termasuk Timur Tengah yang pada masanya itu Islam Berjaya. Belum bisa dikatakan pasti bahwa Ia telah memeluk Islam sebagai jalan hidupnya. Akan tetapi, kecintaannya dan rasa penghormatannya terhadap Islam, kitab Suci-Nya, bahkan Nabi-Nya membuatnya mampu melahirkan karya-karya besar yang saat ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan kita? Karya apa sajakah yang telah kita hasilkan? Bila tidak mampu menghasilkan karya sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim bahkan Imam Ghazali-pun.
Lantas, bagaimana dengan karya budi pekerti, akhlak, serta perangai kita? Sudahkah kita sebagai muslim-muslimah sedari kandungan ataupun sedari kecil yang telah diperkenalkan dengan norma-norma keislaman, mampu menebar kebaikan tanpa berkeluh kesah? Mampu menebarkan senyuman tanpa kepalsuan? Yakinkah kita mencintai Dia dan utusan-Nya itu dengan setulus hati? Atau jangan-jangan karena imbalan pahala dan surga. Dan mampukah kita bersyukur tanpa ditegur?
Ditambah lagi, bulan ini pandemi belum usai dan kita diminta untuk lebih bersabar. Dua tahun sudah pandemi menduduki kejayaan di bumi. Kabar duka, kematian, dan kenelangsaan yang terdengar bak petir menyambar. Bolehkah kita menyerah? Bolehkah kita pasrah? Atau Siap menghadapi dengan pola pikir bahwa Tuhan sedang menghibur kita? Inilah cara-Nya untuk menyayangi kita. Inilah cara-Nya untuk membuat kita bersyukur. Inilah cara-Nya untuk menyadarkan kita bahwa apapun yang terjadi adalah atas Kehendak-Nya. Sekalipun itu kematian yang dibicarakan.
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau.” Indah bukan kalam-Nya? Sebelum diri ini hadir dengan nafasnya, Tuhan melalui kalam-Nya yang tertuang dalam Qs. Muhammad: 36 telah menyajikan sebuah untaian redaksi yang begitu membumi dan melangit. Bahwa dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Lantas, mengapa kita begitu hiperaktif terhadap perkara dunia yang sejatinya sudah ada yang mengaturnya. Mengapa tidak kita rubah setiap tragedi di dunia ini menjadi komedi. Dalam artian kita memandang dari sudut pandang yang sederhana dan unik.
Lihatlah ini! Bukankah hanya pandemi yang mampu meliburkan sekolah dalam jangka waktu yang begitu panjang. Sekalipun putra mahkota dari Indonesia meminta agar ada libur panjang untuk sekolah-pun takkan pernah dikabulkan. Setidaknya, banyak orang tua yang tersadarkan bahwa realita dalam pendidikan itu tidak cukup dengan kata percaya dan menitipkan. Anak-anak tersadar bahwa sampai kapanpun kepemahaman ilmu dari guru tidak dapat tergantikan oleh gadget. Meskipun gadget pada masa ini sangatlah membantu. Akan tetapi, gadget tidak mampu memberikan keteladan secara langsung terkait adab dan tata krama.
Memahami Ketentuan-Nya, tidak hanya sekedar dengan mempelajari hingga paham. Tapi, bagaimana penerimaan diri kita terhadap ketentuan dari-Nya. Apa yang telah terjadi pada diri kita, Allah Ridho itu terjadi. Kasih sayang dan ramat Allah sebagai Tuhan kita sangat besar dari pada siksa-Nya. Mana mungkin Allah akan tega menyiksa umat yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad SAW.
Teringat dengan perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sebuah perjalanan yang mematahkan kemustahilan bahwa Allah itu tiada. Perjalanan singkat dengan tujuan menghibur hati Nabi SAW yang ditinggal pergi oleh istri dan paman tercintanya. Perjalanan semalam yang membawa oleh-oleh bahagia berupa perintah Salat lima waktu yang semula 50 waktu.
Bukankah dari peristiwa itu Nabi SAW telah membawakan syifaa’ atau obat bagi umatnya. Obat susah, gelisah, nelangsa dan pengusir kenestapaan. Bahkan menjadi syifaa’ dari segala penyakit hati dan pikiran. Bukankah spirit kita tetap aman dan terjaga. Karena kita selalu rutin bertemu dengan Sang Pencipta di lima waktu. Jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Bukan pasrah melainkan berharaplah dan bertawakkallah.
Sebagai puncaknya, ialah menjemput hikmah pada setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini. Jemputlah dahulu setiap hikmah dari tragedi kehidupan. Pelajari dan pahami. Barulah resapi dengan tindakan. Dari situlah kita dapat menjalankan rasa syukur tanpa harus ditegur. Semoga terlaksana. Aamiin. Wallaahu A’lam Bisshawab.
Oleh : Sisca Afriyanti