
“Memaknai Idul Adha dengan meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim a.s…
Hari raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan kurban berupa kambing atau sapi. Di media sosial, sudah ramai hewan kurban dijual dengan harga bersaing. Sedangkan di Mekkah Al mukarromah hiruk pikuk suara talbiyah jamaah bersahutan menunaikan rukun Islam yang kelima. Tahun ini terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijah antara pemerintah Indonesia dengan Saudi Arabia. Perbedaan ini berdampak pada kebimbangan sebagian umat Islam terkait puasa Arafah. Penyebabnya adalah ketidaksesuaian antara pelaksanaan wukuf di Arafah dengan 9 Dzulhijah di Indonesia, sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini karena ketentuan memasuki awal bulan Dzulhijah adalah seperti memasuki bulan Ramadan, yaitu; pertama, Penetapan awal bulan Dzulhijah bersifat ijtihad sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Kedua, Perbedaan hasil ijtihad dalam menentukan awal bulan Dzulhijah bersifat mengikat bagi para pihak yang menetapkan dan yang mengikutinya, tetapi tidak mengikat bagi pihak-pihak yang tidak menerima hasil ijtihad tersebut. Ketiga, Hasil ijtihad pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan awal bulan Dzulhijah tidak mengikat umat Islam di Indonesia dan negera lain. Maka dari itu, sudah selayaknya umat Islam khususnya di Indonesia saling menghormati keputusan para pihak yang memiliki otoritas dalam menentukan awal bulan Dzulhijah.
Salah satu keistimewaan bulan Dzulhijjah adalah adanya puasa Arafah. Sebagian umat Islam di negeri ini mempertanyakan antara wuquf di padang Arafah dan puasa Arafah apakah harus bersamaan atau tidak. Kegiatan wuquf di padang Arafah dan puasa Arafah tidak selalu sama, terkadang keduanya bersamaan, tetapi terkadang tidak. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut; pertama, Istilah Arafah oleh para ulama terkadang dimaknai nama tempat yang bernama Arafah, terkadang dimaknai hari ke-9 bulan Dzulhijah, dan terkadang dimaknai sebagai salah satu aktivitas ibadah haji, yaitu wuquf di padang Arafah. Kedua, Puasa Arafah hukumnya sunnah dan memiliki keutamaan yang besar, yaitu dapat menghapus dosa setahun yang sudah berlalu dan dosa setahun setelahnya. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak sedang melaksanakan wuquf di padang Arafah. Ketiga, Puasa Arafah dilakukan oleh umat Islam pada 9 Dzulhijah berdasarkan ketetapan yang berlaku di negaranya masing-masing. Hal ini terlepas dari kesesuaian ataupun tidak dengan kegiatan wukuf di padang Arafah. Alasannya, dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan puasa pada 9 Dzulhijah. Sebagian istri Nabi Muhammad SAW menceritakan bahwa Rasulullah SAW biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, Senin pertama setiap bulan, dan dua kali Kamis. (An-Nasa’i, No. 2417, hadits sahih). Kegiatan wuquf di padang Arafah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW hanya terjadi sekali, yaitu pada waktu haji wadak (tahun 10 H.), sementara puasa Arafah dan shalat Idul Adha sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 Hijriyah. Berdasarkan sejarah, kegiatan haji pernah tidak dilaksanakan selama 40 kali karena berbagai sebab, seperti konflik dan bencana. Meskipun begitu, ibadah puasa pada hari Arafah dan Idul Adha tetap dilaksanakan seperti biasa. Diantara ulama yang secara tegas menyebutkan bahwa puasa Arafah berkaitan dengan 9 Dzulhijah bukan dengan wukuf di Arafah adalah Al-Kharasyi dan Ibn Abidin.
Puncak hari raya Idul Adha bagi yang tidak sedang berhaji merupakan pelaksanaan sholat Idul Adha yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijah dan dilanjutkan penyembelihan hewan kurban hingga tanggal 13 Dzulhijah. Hari raya Idul Adha hakikatnya mengajak kita untuk mengulas kembali sejarah kehambaan Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s sehingga ibadah yang paling utama yaitu menyembelih hewan kurban dan dagingnya dibagikan kepada orang-orang miskin.
Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah SWT menggambarkan keikhlasan Nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Hal ini dapat dilihat dari kesigapan Nabi Ibrahim a.s dalam melaksanakan perintah Allah SWT sampai harus menyembelih putra kesayangannya. Nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya dan disaat yang sama langsung menawarkan perintah tersebut “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” dan Nabi Ismail pun menjawab “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Nabi Ibrahim a.s maupun Nabi Ismail a.s. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar tampak, dimana Nabi Ibrahim a.s ikhlas menerima dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Nabi Ismail a.s menaati perintah tersebut tanpa ada keraguan. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban dilaksanakan setiap tahun oleh umat Islam, supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin dan meneladani kisah keikhlasan Nabi Ibrahim a.s dan ketaatan Nabi Ismail a.s. akan perintah Allah SWT. Semoga dengan kisah ketedanan Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s menjadi penyemangat kehambaan yang kaffah kepada Allah SWT dan tidak sekedar kehambaan musiman.
Oleh: Mamik Dwi Wahyuni, S.Pd.