Kiprah Santri dalam Menorehkan Rasa Nasionalisme pada Ibu Pertiwi
Berawal dari resolusi jihad seorang ulama legendaris, K.H. Hasyim Asy’ari menjadikan gebrakan luar biasa. Menggerakkan semua lapisan masyarakat untuk bergandengan tangan bersama melawan kolonial penjajah. Peringatan ini mengisahkan Hasyim Asyari yang kala itu memutuskan untuk melakukan resolusi jihad, melawan pasukan kolonial di Surabaya, Jawa Timur. Keputusan itu ditetapkan setelah mendengar tentara Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu.
Di Surabaya yang panas pada akhir Oktober 1945, para kiai pun berkumpul. Mereka mantap berdiri di belakang Republik Indonesia. Wakil-wakil cabang santri di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Maka pada tanggal 22 Oktober 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu, lahirlah apa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Resolusi yang menyulut semangat mereka; umat dan ulama di banyak tempat yang memiliki hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Niat itu tertuang dalam pertimbangan Resolusi Jihad bahwa “mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.” Lewat Resolusi Jihad, kaum santri “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.”
Betapa Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia. Sebelum Oktober 1945 berakhir, pertempuran melawan Jepang sudah terjadi di beberapa tempat selain di Surabaya. Kaum santri juga ikut andil beradu otot melawan tentara asing. Meski tidak punya pasukan yang kemampuan tempurnya setara dengan tentara Jepang, namun setidaknya memiliki pemuda-pemuda yang siap bertempur yang dilatih untuk berjihad memperjuangkan harga diri agama dan bangsanya. Mereka tergabung bersama rakyat melakukan perlawanan sengit dalam pertempuran di Surabaya. Pimpinan Sekutu Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby pun tewas dalam pertempuran.
Kematian Mallaby itulah yang membuat marah tentara Inggris dan kemudian memicu Pertempuran 10 November 1945. Pahlawan yang legendaris saat pertempuran tersebut adalah Pemuda Sutomo alias Bung Tomo bahkan diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Bung Tomo dikenal sebagai orator dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membakar semangat arek-arek Surabaya, salah satunya dengan pekikan “Allahu Akbar”. Hingga kini pun kutipan semangat jihad K.H. Hasyim Asy’ari, semoga memompa semangat jihad para santri. Kutipan tersebut adalah, “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardoe ‘ain (haroes dikerdjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, prempoean, anak-anak, bersendjata atoe tidak) ….”
Itulah sepenggal sejarah yang mencerminkan betapa besar rasa cinta seorang muslim terhadap tanah airnya. Menjadi kewajiban untuk berkorban dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negaranya. Maka selayaknya kita kenang peristiwa bersejarah itu sebagai pelajaran berharga untuk pemuda Indonesia, khususnya para santri. Salah satu penghargaan itu adalah dinobatkannya Hari Santri Nasional dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani di Masjid Istiqlal, Jakarta. Peringatan yang tidak hanya merujuk pada komunitas tertentu, tetapi merujuk mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat Laa ilaaha illa Allah.
Dengan begitu, kita dapat kembali mengingat perjuangan dan meneladani semangat jihad para santri yang digelorakan para ulama. Merenung kembali dasar kata ‘santri’ sebagai sebutan yang tentu saja bukan sebutan remeh. Namun sebutan yang penuh arti. Arti tiap dalam hurufnya itu adalah: Pertama, shin: bahwa santri itu harus mengaji dan mencari ilmu agama. Maka sudah seyogyanya seorang santri mengaji dan tahaluf kepada para kiai karena kiai merupakan ulama pewaris nabi yang bisa menghantarkan ia kepada syafaat nabi, dan menyambungkan sanad keilmuannya kepada Rasulullah sang pembawa wahyu Illahi. Kedua, alif: bahwa seorang santri itu harus berakhlakul karimah meneladani akhlak nabi, dan menjaga adatnya sesuai nilai luhur tradisi. Selamat Hari Santri Nasional. Semoga kiprah para santri di Indonesia dapat mengharumkan nama ibu pertiwi seperti halnya yang telah dilakukan para pendahulunya.
Oleh: Nur Adi Putri Satiti, S.S. (dari berbagai sumber)