Jihad Santri Jayakan Negeri; Jadilah Santri Berdaya Guna
Mungkin terbersit dalam benak kita siapakah yang disebut dengan santri? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjabarkan dua definisi santri yaitu orang yang mendalami agama Islam dan orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang yang shalih.
Mengaitkan tema hari santri 2023 yaitu Jihad Santri Jayakan Negeri, jika kita telisik ke belakang, maka kita akan menemui bahwa jihad santri sudah ada sejak jaman penjajahan, termasuk dalam pergerakan nasional Indonesia serta perang fisik melawan agresi militer. Selain itu, santri memiliki andil signifikan dalam membentuk kesadaran nasional dan membebaskan diri dari penjajahan. Hal ini karena persinggungan dengan tokoh-tokoh pemikiran Islam di kancah internasional pada saat mereka pergi haji, banyak tokoh-tokoh santri yang membawa pulang semangat untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan menyuarakan aspirasi untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Beberapa perang yang melibatkan para santri dan tokoh agama Islam antara lain Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Perang Aceh, serta pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Dalam perang ini, Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari, berhasil memobilisasi para pejuang untuk turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Panglima Besar Jendral Soedirman, yang merupakan santri sekaligus guru di sekolah Muhammadiyah tak gentar dalam memimpin gerilya melawan Belanda. Bahkan di saat beliau sakit, sang panglima tetap bergerilya di hutan-hutan demi mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Perjuangan jihad santri dalam mencapai kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan lewat perjuangan fisik, tapi juga lewat organisasi yang memiliki visi yang sama untuk mempersiapkan usaha-usaha menuju negara yang merdeka. Melalui organisasi ini, para founding fathers atau pendiri bangsa Indonesia merumuskan dasar negara Indonesia, dan disini pula para santri turut andil dalam upaya tersebut. Diantaranya menjadi anggota BPUPKI yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Mas Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Era pasca kemerdekaan pun santri terus berjihad, berkiprah amar ma’ruf nahi munkar, menebar kemanfaatan dan kemaslahatan untuk umat yaitu membangun masyarakat melalui pendidikan dan gerakan sosial, yang digalakkan melalui pondok pesantren, organisasi masyarakat, serta majelis taklim. Organisasi Islam di Indonesia memiliki peran penting dalam mempertahankan identitas bangsa dan memperkuat semangat kemerdekaan melalui badan-badan yang dikelola. Sebagai contoh, organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, sejak awal menjadikan pendidikan dan pelayanan sosial sebagai salah satu fokus dakwahnya. Berlandaskan pada Al-Quran surah Al-Ma’un, KH. Ahmad Dahlan menginstruksikan santri-santrinya untuk menolong dan melayani fakir miskin. Beliau juga mempelopori institusi pendidikan Islam yang menggunakan sistem klasikal layaknya sekolah modern. Dari institusi di bawah Muhammadiyah, lahirlah Ir. Soekarno, Buya Hamka, KH. Mas Mansur, serta Ir. Djuanda yang merupakan tokoh yang memiliki jasa besar bagi bangsa Indonesia. Sampai sekarang, Muhammadiyah telah memiliki ribuan amal usaha, termasuk lembaga pendidikan, rumah sakit, hingga panti asuhan yang dikelola oleh organisasi tersebut. Hal ini menunjukkan kontribusi santri yang luar biasa dalam upaya turut membangun masyarakat.
Di era modernisasi ini, nilai santri sudah mulai memudar dan mengalami pergeseran. Peran gadget yang sedemikian rupa membuat identitas santri menjadi kabur. Padahal santri jika dikupas dari filosofi penamaannya memiliki makna yang sangat dalam Kata santri (سنتري) dalam bahasa Arab, terdiri dari 5 huruf, yakni sin, nun, ta’, ro’, dan ya’. Pertama, seorang santri harus menjadi saafiqul khoir atau pelopor kebaikan, di manapun ia berada. Kedua, penjabaran dari huruf nun, naasibul ulama (penerus ulama). Santri merupakan para kader, calon yang kelak diharapkan menjadi penerus para ulama. Ketiga huruf ta’, yaitu taarikul ma’ashi (meninggalkan maksiat). Sedangkan huruf keempat dan kelima yaitu huruf ro’ dan ya’ dijabarkan sebagai syarat yang mesti dimiliki para santri, yaitu Ridho Allah semata yang dituju dan Yakin sepenuhnya kepada Allah Swt. Harapannya, filosofi ini senantiasa melekat pada diri santri dimanapun ia berada, tidak sebaliknya terbawa arus modernisasi dan trend yang ada tanpa memilah terlebih dahulu kebermanfaatannya.
Mari kita pupuk semangat dan dedikasi santri sebagai pahlawan pendidikan dan perjuangan kebodohan, karena di zaman yang penuh tantangan dan kompleksitas ini, jihad tidak lagi merujuk pada pertempuran fisik, melainkan pada perjuangan intelektual dengan penuh semangat. Menjadi garda terdepan dalam pertempuran melawan ketidakpahaman, kebodohan, dan ketertinggalan serta pejuang ilmu pengetahuan yang tidak kenal lelah. Dalam tradisi Islam, jihad intelektual adalah cara untuk membela nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan pengetahuan. Santri sebagai teladan dalam menjalani jihad ini. Dengan buku sebagai senjata dan pena sebagai tongkat kebijaksanaan, perdalam ilmu dan menyebarkan cahaya pengetahuan. Santri perlu banyak membekali diri dengan visi yang lebih progresif dan mendunia dengan kedalaman ilmu-ilmu teknis di bidangnya. Kedepannya, santri harus semakin banyak yang berpartisipasi dan memberikan solusi yang konkret dalam berbagai krisis yang dialami bangsa ini. Amanat rahmatallil ‘alamin yang dipikul, tidak hanya bersifat lokal ataupun nasional, tapi lebih dari itu, bersifat global bahkan meliputi semesta raya. Oleh karena itu, santri harus berusaha dan berdaya membangun negeri. Wallohu a’lam bishowab
Oleh : Mamik Dwi Wahyuni, S.Pd.