Tahun Baru Islam Sebagai Momentum Penguatan Muraqabatullah
Dikisahkan dalam percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab ra. dan Ubay bin Ka’ab ra. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”
Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”
Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT. Ia rela mengerem lajunya, memangkas egonya, menajamkan pandangan, menelisik sekitar, dan mencari celah jalan selamat. Semua fungsi tubuh ia maksimalkan agar ia tak celaka. Agar sebiji duri pun tak melukai, kemudian mengucurkan darah dari kakinya. Takwa hakikatnya hati-hati.
Orang bertaqwa dan orang beriman tidak dapat dipisahkan. Sifat takwa melebur dalam keimanan. Begitu juga sebaliknya, menjadi orang bertakwa adalah berusaha keras menggenapi apa saja prasyaratnya. Allah SWT berfirman, “Beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 177).
Taqwa yang bukan sebatas slogan akan membekas dalam jiwa seseorang. Ia akan menjadi filter diri, jika ada zat asing masuk ke dalam hati, maka taqwa akan menyaringnya. Jika ia buruk, ia akan memerintahkan tubuh untuk menjauhinya. Oleh karena itu, taqwa yang sebenarnya akan menjadi sebuah karakter.
Lantas, apa hubungan taqwa dengan muroqobatullah? Dalam firman Allah SWT yaitu “Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS. Ali ‘Imran : 5)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kita harus merasa selalu diawasi. Salah satu nilai taqwa yang dihasilkan dari sebuah ibadah adalah muraqabatullah, yakni mengondisikan diri merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu hingga akhir kehidupan. Allah melihat, mengetahui rahasia-rahasia, memperhatikan semua amal perbuatan, dan juga mengamati apa saja yang dikerjakan semua jiwa. Betapa tidak, pada siang hari ketika kita sedang melaksanakan puasa, kita bisa saja makan dan minum di tempat yang tersembunyi. Namun, hal itu tidak dilakukan karena kita meyakini, walaupun dapat bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan manusia, kita tidak akan mampu bersembunyi dari penglihatan dan pengawasan Allah SWT. Kita bisa saja berpura-pura menjalankan ibadah puasa di hadapan manusia, tetapi kita tidak dapat menyembunyikan hal itu dari pengawasan Allah. Inilah bentuk dari muraqabatullah.
Allah berfirman kepada Nabi nya :
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (٢١٧) الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (٢١٨) وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (٢١٩) إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri, dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS Asy-Syu’ara : 17-20)
Dalam ajaran Islam, muraqabatullah merupakan suatu kedudukan yang tinggi. Sebuah hadist menyebutkan bahwa muraqabatullah sejajar dengan tingkatan ihsan, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, jika kita tak mampu melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihat kita.
Sebagai seorang mukmin hendaknya kita berusaha menggapai kedudukan muraqabatullah ini. Ketika kita sudah mencapainya, serangkaian kebaikan dan keutamaan akan kita dapatkan. Di antaranya, kita akan merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kesempurnaan-Nya, tenteram ketika ingat nama-Nya, merasakan ketenteraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Sebuah kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Dinar sebagai motivasi bagi kita untuk menjadi orang yang merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.
Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Khathab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat, tiba-tiba salah seorang penggembala turun kepada kami dari gunung. Umar bin Khathab bertanya kepada penggembala tersebut, ‘‘Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami’’. Penggembala tersebut berkata, “Kambing-kambing ini bukan milikku, tapi milik majikanku.’’ Umar bin Khathab berkata, “Katakan saja kepada majikanmu bahwa kambingnya dimakan serigala.’’
Namun, penggembala yang budak tersebut berkata, “Kalau begitu, di mana Allah?”: أَيْنَ اللهُ ؟
Umar bin Khathab menangis, kemudian ia pergi ke majikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut dan memerdekakannya.”
Pergantian tahun baru Islam diperingati dalam kalender Hijriyah di bulan Muharram. Pada titik ini menjadi momen umat muslim bertafakur dan mensyukuri atas segala nikmat yang Allah SWT berikan. Sebagai rasa syukur, awali tahun baru islam ini dengan melakukan banyak kebaikan, kita tafakuri sebagai rasa syukur kita diberi hidayah menjadi islam, hijrah dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari kurang iman menjadi beriman, dari kurang amal menjadi beramal.
Selain itu, tahun baru islam menjadi momentum muhasabah diri dalam hal muraqabatullah sekaligus titik awal melakukan perubahan diri yang lebih baik, menjadi insan yang terus istiqomah dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selalu tertanam dalam hati kita, bahwa Allah SWT selalu mengawasi.
Selamat tahun baru islam 1 Muharram 1444 H, semoga kita selalu merasa diawasi, sehingga tidak mudah melakukan keburukan dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.
Oleh : Siti Chotimah, S.Pd.